Selasa, 07 Mei 2019

Diantara Dua Perang




          Seorang kawan pernah berkata, "Tidak ada masa damai, yang ada hanyalah masa istirahat di antara kedua perang”. Benarkah begitu? Aku jadi teringat kepada para pendahulu kita yang memerangi penjajahan agar semua  anak bangsa bisa berpendidikan bukan hanya anak-anak dari para pejabat; hasil
peranakan penjajah dengan para nyai; atau keturunan priyayi saja. Ya, anganku
jauh melayang pada masa-masa awal abad dua puluh, pada masa sepeda baru saja masuk dan dinamakan "kereta  angin". Dan listrik masih jadi hal yang tidak semua orang bisa lihat. Orang-orang pribumi di zaman dahulu  begitu terkungkung keterbatasan informasi tapi mampu berpikiran luas, memimpikan hal besar, berharap ada  masa di mana negeri ini bisa menyejajarkan dirinya di  kancah dunia.
          
         Mereka, para pendahulu kita mungkin kakek dan nenekmu adalah orang-orang hebat yang memberikan pundaknya agar kita bisa meraih lebih tinggi, menggapai cita-cita. menjadi rival sekaligus kawan setara bangsa-bangsa Eropa dalam hal teknologi dan ilmu pengetahuan. Betapa sedihnya hatiku ketika dihadapkan dengan  kenyataan hari ini, di mana kebanyakan dari kita yang tidak lagi terkungkung oleh keterbatasan informasi, malah mempunyai pemikiran yang sempit. Anak muda yang kuat mempergunakan kekuatannya untuk memojokkan yang lemah, dan lebih senang membuat geng yang mengeroyok  orang-orang tak bersalah, daripada berorganisasi untuk mengeroyok ketidakadilan, Orang-orang pintar mempergunakan otaknya untuk mengelabui dan menipu rakyat kecil dengan sejuta janji tanpa bukti. Kota menjadi  kotor dengan baliho-baliho dan ribuan poster menyambut  pemilu yang memajang foto si calon dengan senyum lebar dan titel panjang. Bukankah Henry Dunant pernah bilang, "Selama sebuah negara tidak kekurangan pecinta alam, negara tersebut takkan kehabisan pemimpin?" Lalu calon pemimpin macam apa  yang mengotori kota? Calon pemimpin macam apa yang tidak peduli dengan sampah-sampah sisa pemilihan  umum?

         Negeri ini adalah negeri yang besar, negeri yang hebat. Cuma, sayangnya, tidak semua orang mampu bersyukur. Kebanyakan dari kita Iebih senang terlena dicekoki  keindahan dunia fana. Sedih karena putus cinta, tapi lupa kalau saudara-saudara kita ada yang lebih bersedih karena putus sekolah. Menangis karena hati terluka oleh sang kekasih, tapi lupa kalau saudara-saudara kita lebih terluka karena haknya diinjak-injak. Galau karena cinta ditolak, tapi lupa kalau saudara-saudara kita ada yang berusaha tidak galau meski kehilangan tempat tinggal pasca bencana.

          "Tidak ada masa damai, yang ada hanyalah masa  istirahat di antara kedua perang” Jika benar begitu, apa kita siap membela negara jika esok hari kita kembali dijajah? Apa kita tahu apa yang mesti dilakukan saat ada segerombolan orang-orang ingin menjatuhkan paham yang kini kita anut? Apa kita sudah punya ide dan strategi agar negeri ini selamat? Ataukah kita akan terlalu sibuk  membetulkan poni; sibuk mengunggah foto selfie dengan latar pertempuran; sibuk memperbarui status sedang ada di medan perang?

        Negeri ini adalah dirimu, dirimu adalah negeri ini. Tanah yang kau beraki, yang kau kencingi, yang kau ambil airnya untuk kau minum, yang kau ambil padinya untuk  kau makan. Tak pernahkah kau merasa berutang untuk membawa bumi pertiwi ke arah yang lebih baik?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar