Seorang kawan pernah berkata, "Tidak ada
masa damai, yang ada hanyalah masa
istirahat di antara kedua perang”. Benarkah begitu? Aku jadi teringat kepada
para pendahulu kita yang memerangi penjajahan agar semua anak bangsa bisa berpendidikan bukan hanya anak-anak
dari para pejabat; hasil
peranakan penjajah dengan para nyai; atau keturunan priyayi saja. Ya, anganku
jauh melayang pada masa-masa awal abad dua puluh, pada masa sepeda baru saja masuk dan dinamakan "kereta angin". Dan listrik masih jadi hal yang tidak semua orang bisa lihat. Orang-orang pribumi di zaman dahulu begitu terkungkung keterbatasan informasi tapi mampu berpikiran luas, memimpikan hal besar, berharap ada masa di mana negeri ini bisa menyejajarkan dirinya di kancah dunia.
peranakan penjajah dengan para nyai; atau keturunan priyayi saja. Ya, anganku
jauh melayang pada masa-masa awal abad dua puluh, pada masa sepeda baru saja masuk dan dinamakan "kereta angin". Dan listrik masih jadi hal yang tidak semua orang bisa lihat. Orang-orang pribumi di zaman dahulu begitu terkungkung keterbatasan informasi tapi mampu berpikiran luas, memimpikan hal besar, berharap ada masa di mana negeri ini bisa menyejajarkan dirinya di kancah dunia.
Mereka, para pendahulu kita mungkin kakek dan nenekmu
adalah orang-orang hebat yang memberikan pundaknya agar kita bisa meraih lebih
tinggi, menggapai cita-cita. menjadi rival sekaligus kawan setara bangsa-bangsa
Eropa dalam hal teknologi dan ilmu pengetahuan. Betapa sedihnya hatiku ketika
dihadapkan dengan kenyataan hari ini, di
mana kebanyakan dari kita yang tidak lagi terkungkung oleh keterbatasan
informasi, malah mempunyai pemikiran yang sempit. Anak muda yang kuat mempergunakan kekuatannya untuk memojokkan yang
lemah, dan lebih senang membuat geng yang mengeroyok orang-orang tak bersalah, daripada berorganisasi untuk mengeroyok ketidakadilan, Orang-orang
pintar mempergunakan otaknya untuk mengelabui dan menipu rakyat kecil dengan
sejuta janji tanpa bukti. Kota menjadi
kotor dengan baliho-baliho dan ribuan poster menyambut pemilu yang memajang foto si calon dengan
senyum lebar dan titel panjang. Bukankah Henry Dunant pernah bilang,
"Selama sebuah negara tidak kekurangan pecinta alam, negara tersebut
takkan kehabisan pemimpin?" Lalu calon pemimpin macam apa yang mengotori kota? Calon pemimpin macam apa
yang tidak peduli dengan sampah-sampah sisa pemilihan umum?
Negeri ini adalah negeri yang besar, negeri yang hebat.
Cuma, sayangnya, tidak semua orang mampu bersyukur. Kebanyakan dari kita Iebih
senang terlena dicekoki keindahan dunia
fana. Sedih karena putus cinta, tapi lupa kalau saudara-saudara kita ada yang
lebih bersedih karena putus sekolah.
Menangis karena hati terluka oleh sang
kekasih, tapi lupa kalau saudara-saudara kita lebih terluka karena haknya
diinjak-injak. Galau karena cinta ditolak, tapi lupa kalau saudara-saudara kita
ada yang berusaha tidak galau meski kehilangan tempat tinggal pasca bencana.
"Tidak ada masa damai, yang ada hanyalah masa istirahat di antara kedua perang” Jika benar
begitu, apa kita siap membela negara jika esok hari kita kembali dijajah? Apa
kita tahu apa yang mesti dilakukan saat ada segerombolan orang-orang ingin menjatuhkan paham yang kini kita anut?
Apa kita sudah punya ide dan strategi agar negeri ini selamat? Ataukah kita
akan terlalu sibuk membetulkan poni;
sibuk mengunggah foto selfie dengan latar pertempuran; sibuk memperbarui status
sedang ada di medan perang?
Negeri ini
adalah dirimu, dirimu adalah negeri ini. Tanah yang kau beraki, yang kau
kencingi, yang kau ambil airnya untuk kau minum, yang kau ambil padinya
untuk kau makan. Tak pernahkah kau
merasa berutang untuk membawa bumi pertiwi ke arah yang lebih baik?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar